Implementasi Program Kesejahteraan Sosial Studi Penanggulangan Eksploitasi Anak sebagai Pengemis
Abstract
The exploitation of children as beggars in Lhokseumawe City poses a significant challenge to the implementation of social welfare policy mandated by Aceh Qanun No. 11 of 2013. This study aims to dissect the policy's implementation model by focusing on three core pillars: rehabilitation programs, inter-agency synergy, and social assistance mechanisms. Employing a qualitative approach, data were gathered through in-depth interviews with key policy-implementing actors from the Social Service Agency, Public Order Agency (Satpol PP), and the Office for Women's Empowerment and Child Protection (DP3A). The findings reveal a complex and paradoxical implementation model. Rehabilitation programs, while discursively framed within social investment rhetoric, function more as protective emergency mechanisms in practice. Inter-agency synergy proves effective yet fragile, as it relies on informal relational networks rather than an institutionalized system. Furthermore, the intervention's overarching focus on saving individual children inadvertently overlooks the structural reproduction of poverty at the family level, revealing a constant compromise between policy idealism and field realities.
Abstrak
Eksploitasi anak sebagai pengemis di Kota Lhokseumawe menantang implementasi kebijakan kesejahteraan sosial yang diamanatkan oleh Qanun Aceh No. 11 Tahun 2013. Penelitian ini bertujuan untuk membedah model implementasi kebijakan tersebut, dengan berfokus pada tiga pilar utama: program rehabilitasi, sinergi antar aktor, dan mekanisme bantuan sosial. Menggunakan pendekatan kualitatif, data dikumpulkan melalui wawancara mendalam dengan para aktor kunci pelaksana kebijakan dari Dinas Sosial, Satpol PP, dan DP3A. Hasil penelitian mengungkap sebuah model implementasi yang kompleks dan penuh paradoks. Program rehabilitasi, meski berlandaskan retorika investasi sosial, dalam praktiknya lebih berfungsi sebagai mekanisme protektif darurat. Sinergi antar aktor terbukti efektif, namun rapuh karena bertumpu pada jejaring relasional informal, bukan sistem yang terlembaga. Lebih lanjut, keseluruhan intervensi yang berfokus pada penyelamatan individu anak secara tidak langsung mengabaikan masalah reproduksi kemiskinan struktural di tingkat keluarga, menunjukkan sebuah kompromi konstan antara idealisme kebijakan dengan realitas lapangan.
References
Ansell, C., & Gash, A. (2018). Collaborative governance in theory and practice. Journal of Public Administration Research and Theory, 18(4), 543–571. https://doi.org/10.1093/jopart/mum032
Arinanda, & Nazaruddin. (2022). Collaborative governance in minimizing the COVID-19 pandemic in North Aceh Regency. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Malikussaleh (JSPM), 1(1), 1-13.
Astuti, M., & Suhendi, A. (2014). Implementasi kebijakan kesejahteraan dan perlindungan anak. Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik, 18(1), 55-68.
Grindle, M. S. (1980). Politics and policy implementation in the Third World. Princeton University Press.
Hemerijck, A. (2017). The uses of social investment. Oxford University Press.
Howlett, M., Ramesh, M., & Perl, A. (2020). Studying public policy: Principles and practice (4th ed.). Oxford University Press.
Idris, T., Mutia, J., Rijal, F., & Furqan, M. (2024). Humanistic education in the Dayah teaching system in Aceh. Tadrib: Jurnal Pendidikan Agama Islam, 10(1), 239–247.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA). (2020). Strategi nasional penghapusan kekerasan terhadap anak (Stranas PPA). KemenPPPA.
Kementerian Sosial Republik Indonesia. (2021). Pedoman rehabilitasi sosial anak. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial.
Kementerian Sosial Republik Indonesia. (2022). Laporan tahunan pelaksanaan program bantuan sosial. Kementerian Sosial RI.
Nazaruddin, N., & Maryam, M. (2021). Electronic resident card-making services (KTP-el). Jurnal Administrasi Publik Aceh, 5(1), 67–78.
Pemerintah Aceh. (2013). Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2013 tentang Kesejahteraan Sosial. Sekretariat Daerah Provinsi Aceh.
Pemerintah Indonesia. (2014). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Sekretariat Negara.
Roelen, K., Devereux, S., Abdulai, A. G., Martorano, B., Palermo, T., & Ragno, L. P. (2021). Social protection and vulnerability in the Global South: Transforming lives, securing livelihoods. Routledge.
RRI. (2024, Januari 25). 849 Kasus Kekerasan Terjadi di Aceh, 498 Diantaranya Menimpa Anak. Radio Republik Indonesia. [Sertakan URL jika tersedia]
Setialinsi, R. (2023). Kebijakan non penal pada eksploitasi anak yang dijadikan pengemis dan pengamen di Kota Medan (studi kasus dinas sosial kota medan). Jurnal Rechtsvinding: Media Pembinaan Hukum, 12(1), 1–16. https://doi.org/10.33331/rechtsvinding.v12i1.4883
Siregar, R. A. (2022). Faktor-faktor yang mempengaruhi orang tua mengeksploitasi anak menjadi pengemis jalanan di Simpang Pos Kota Medan. [Skripsi, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara]. Repositori UMSU.
Susanti, R. (2020). Implementasi kebijakan tentang penanganan penyandang masalah kesejahteraan sosial di Kota Tasikmalaya. Jurnal Borneo Administrator, 16(2), 173–189. https://doi.org/10.31849/jba.v16i2.4120
UNICEF Indonesia. (2020). Child protection and COVID-19. UNICEF. https://www.unicef.org/indonesia/child-protection-and-covid-19
Winarno, B. (2007). Kebijakan publik: Teori, proses, dan studi kasus. Media Pressindo.
Downloads
DOI
Keywords
Published
Issue
Section
License
Copyright (c) 2025 Sri Damayanti, Maryam Maryam, Muhammad Hasyim, Nazaruddin Nazaruddin, Arinanda Arinanda (Author)

This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial 4.0 International License.









